SHARE
1 / 3
2 / 3
3 / 3

istimewa

Timothy M. Hoxha dalam artikel “The Masculinity of James Bond: Sexism, Misogyny, Racism, and the Female Character” yang diterbitkan Cambridge Scholars Publishing pada 2011 mencatat fenomena Bond yang telah menjadi “imajinasi bersama” tentang maskulinitas dan feminitas yang “ideal” dengan:

“Untuk laki-laki, Bond mewakili fantasi pamungkas—seorang agen rahasia yang dengan percaya diri dapat memilih perempuan dengan kemudahan kasual yang sama seperti yang dia gunakan untuk memesan segelas sampanye, sambil dengan cerdik berkelahi dengan dalang kriminal.

Untuk perempuan, dia [Bond] sopan, gagah, dan tampan; layaknya ksatria yang mewujudkan peran penakluk, penggoda, dan pahlawan.”

Meski aktor berganti-ganti sejak beberapa dekade lalu—mulai dari Sean Connery, George Lazenby, Roger Moore, Timothy Dalton, Pierce Brosnan, dan terakhir Daniel Craig—Bond akan selalu tampil necis dengan setelan jas, lengkap dengan simbol-simbol ikonisnya mulai dari pistol, Aston Martin, alkohol—ia nyaris selalu memesan vodka martini yang harus dikocok sampai sedingin es, bukan diaduk—dan deretan perempuan yang mengelilinginya atau kerap disebut “Bond Gilrs”.

Tengoklah “Bond Gilrs” versi mula-mula, dalam “Dr. No” (1962) misalnya, yang menggambarkan fenomena male gaze saat karakter Honey Ryder (diperankan oleh Ursula Andress) tampil untuk pertama kali muncul dalam adegan di pantai dengan menggunakan bikini sementara Bond versi Connery menatapnya dari kejauhan.

Bahkan pada film dekade selanjutnya, M (diperankan oleh Judi Dench) menyebut Bond sebagai “seksis, misoginis, dinosaurus, pemikiran relik Perang Dingin” dalam film “Goldeneye” (1995).

Sarah Bayard melalui penelitiannya berjudul The Evolution of Female Gender Roles in James Bond Films (2015), mencatat dua klasifikasi “Bond Gilrs”, yakni “primary girl” dan “secondary girl”.

Primary girl” biasanya memiliki hubungan emosional dan romantis yang intens dengan Bond, dan terkadang digambarkan sebagai perempuan independen, cerdas, dan punya karier prestise. Sementara “secondary girl” dipandang sebagai pemanis cerita atau hanya objek seksual yang memperkuat maskulinitas Bond.

Tak ayal, dengan warisan maskulinitas seperti itu, waralaba Bond menghadapi kritik dan tantangan. Tak hanya itu, waralaba akan selalu menghadapi pertanyaan tentang bagaimana karakter ini dihidupkan dalam dunia yang relevan dengan zaman, serta menggugat terhadap budaya mapan kepada film pendahulunya.

Halaman :
Tags
SHARE