SHARE

Istimewa (Net)

Pasal 6 UU no 40/99 menegaskan peran pers menegakkan nilai-nilai demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, HAM serta menghormati kebhihekaan (ayat b). Peran lainnya, melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum (d) dan memperjuangkan keadilan dan kebenaran (e)

Redup  

Tidak kita pungkiri satu dasawarsa terakhir  pers Nasional kembali  mengalami ancaman malfungsi  justru ketika telah bertumbuh menjadi industri. Penyebabnya, kita semua tahu. Masalahnya diperburuk oleh keterbelahan rakyat.  Berbarengan pula dengan disrupsi tehnologi informasi yang mereduksi peran itu.  Mengkritisi pemerintah akan dibully sebagian masyarakat dan dijuluki " Kampret"  di media sosial. Dianggap otaknya terbalik mengikuti cara tidur kalong di dahan pohon.

Sebaliknya, jika terkesan berlebihan mengapresiasi kinerja pemerintah, akan mendapat julukan "Cebong". Atau serupa anak katak yang dunianya cuma sekolam, sesuai habitat spesies hewan air itu. Kedua julukan itu hanya melumpuhkan pers kita. Kita akhirnya mengenal istilah "tv merah" dan "tv biru". Untuk mengetahui duduk suatu perkara publik harus menonton dua-duanya.

Berhenti jadi wartawan 

Tiga tahun lalu saya pernah menulis ironi seorang wartawan senior. Kebetulan sahabat saya sejak menjadi reporter di lapangan. Dia pensiunan dari media ternama di Indonesia. Lantaran punya reputasi baik,  ia masih ditawari kontrak di grup media bekas tempatnya bekerja, menjadi wartawan di media digital. Tetapi kawan itu sudah mutung. 
"Sekarang sulit menemukan dan mengutarakan kebenaran di media pers," katanya lirih. Kebenaran yang menggunakan parameter sehebat apapun, dan telah menempuh prosedur pengujian yang sahih dan rigit sekalipun, tetap akan menimbulkan kotroversi.

Jika merugikan relawan “Cebong”, sudah pasti ditolak. Begitu juga jika sebaliknya. Kalau fakta itu tidak mengungtungkan relawan “Kampret”, juga menghadapi resistensi sebagian publik.

Halaman :
Tags
SHARE