Razzaq adalah pencari nafkah bagi keluarganya yang terdiri dari sembilan orang. Banjir parah menghancurkan lahannya tahun lalu, dan dia belum membersihkan bebatuan yang tersisa akibat banjir dan melanjutkan pertaniannya. Dia mengkhawatirkan penghidupan keluarganya.
"Jika kekeringan berlanjut dan hujan tidak turun, apa yang akan kami lakukan? Makan batu? Di sini tidak ada apa-apa. Terkadang kami menjalani hari dalam kondisi lapar, terkadang tidak," tuturnya sambil berdiri di samping sebuah batu besar yang tertinggal saat banjir.
Menurut Inisiatif Adaptasi Global Notre Dame (Notre Dame Global Adaptation Initiative), Afghanistan termasuk di antara tujuh negara yang paling rentan terhadap perubahan iklim. Krisis lingkungan yang sedang berlangsung tidak hanya menghancurkan tanaman namun juga mengancam ternak dan memicu pengungsian massal.
Orang-orang mengambil air dari penyimpanan air publik di area yang terdampak banjir di distrik Burka di Provinsi Baghlan, Afghanistan utara, pada 20 April 2025. (Xinhua/Saifurahman Safi)
Haji Egan Birdi, seorang petani lokal lainnya, menyoroti dampak sosial yang lebih luas akibat kekeringan di desanya.
"Sebagian besar pria meninggalkan desa untuk mencari kerja. Hanya orang-orang lanjut usia dan wanita yang tetap di sini," ujarnya. "Jika kekeringan terus berlangsung, semakin banyak orang terpaksa harus pergi."