SHARE

Istimewa (Net)

Dari cara skeptisisme itu, lalu Yusril mulai mengemukakan pandangan hukumnya; baginya ada kevakuman hukum untuk menyelesaikan persoalan yang terjadi. Mahkamah Partai sebagai quasi peradilan internal partai, tidak berwenang menguji AD/ARD. Begitu juga Pengadilan Negeri dan Tata Usaha Negara.

Karena situasi kevakuman itulah, ia lalu menyusun kembali argumen yang dinilainya cukup meyakinkan. Apalagi kemudian ia menguatkan agrumennya dengan pandangan ahli hukum lainnya, seperti Dr. Hamid Awaludin, Prof Dr Abdul Gani Abdullah dan Ahli Hukum Tata Negara dan Konstitusi Dr. Fahri Bachmid,S.H.,M.H. 

Mereka, menurut Yusril sepakat jika pada hakikatnya harus ada lembaga yang berwenang menguji AD/ART untuk memastikan apakah prosedur pembentukan dan materi muatannya sesuai dengan undang-undang atau tidak?. Sebab penyusunan AD/ART tidaklah sembarangan karena dia dibentuk atas dasar perintah dan pendelegasian wewenang yang diberikan oleh undang-undang,” tegas Yusril. 

Alasan lainnya adalah bahwa peran partai politik begitu besar dalam kehidupan berdemokrasi dan penyelenggaraan negara. Di dalam UUD 1945 disebutkan antara lain bahwa hanya parpol yang boleh ikut dalam Pemilu Legislatif (Pileg), mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden, kepala daerah, dsb.

Begitu parpol didirikan dan disahkan, secara otomatis tidak bisa dibubarkan, termasuk oleh Presiden. Partai politik hanya bisa dibubarkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi.

Dari argument itu Yusril lalu mengajukan pertanyaan lanjutan: bisakah sebuah partai sesuka hatinya membuat AD/ART? Apakah kita harus membiarkan sebuah partai bercorak oligarkis dan monolitik, bahkan cenderung diktator, padahal partai adalah instrumen penting dalam penyelenggaraan negara dan demokrasi? 

Yusril juga mengingatkan agar kita jangan melupakan jika partai-partai yang punya wakil di DPR RI itu juga mendapat bantuan keuangan yang berasal dari APBN yang berarti dibiayai dengan uang rakyat. 

Karena itu Yusril berpandangan jangan ada partai yang dibentuk dan dikelola “suka-suka” oleh para pendiri atau tokoh-tokoh penting di dalamnya yang dilegitimasi oleh AD/ARTnya, namun ternyata bertentangan dengan undang-undang dan bahkan UUD 1945. 

Atas dasar itu pula menurut Yusril Mahkamah Agung harus melakukan terobosan hukum untuk memeriksa, mengadili dan pemutus apakah AD/ART Partai Demokrat Tahun 2020 bertentangan dengan undang-undang atau tidak?.

“Apakah perubahan AD/ART dan pembentukan AD/ART Partai Demokrat Tahun 2020 telah sesuai dengan prosedur yang diatur oleh undang-undang atau tidak? Apakah materi pengaturannya, seperti kewenangan Majelis Tinggi yang begitu besar dalam Partai Demokrat, sesuai tidak dengan asas kedaulatan anggota sebagaimana diatur dalam UU Partai Politik? Apakah wewenang Mahkamah Partai dalam AD/ART yang putusannya hanya bersifat rekomendasi, bukan putusan yang final dan mengikat sesuai tidak dengan UU Partai Politik? Apakah keinginan 2/3 cabang Partai Demokrat yang meminta supaya dilaksanakan KLB baru bisa dilaksanakan jika Majelis Tinggi setuju, sesuai dengan asas kedaulatan anggota dan demokrasi yang diatur oleh UU Parpol atau tidak? Demikian seterusnya sebagaimana kami kemukakan dalam permohonan uji formil dan materil ke Mahkamah Agung,” cecar Yusril lewat sejumlah pertanyaan tajam. 

Halaman :
Tags
SHARE