SHARE

Melihat

CARAPANDANG.COM, Jakarta – Pemerintah memutuskan untuk menghentikan kegiatan dan membubarkan organisasi massa Front Pembela Islam ( FPI).

Berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) enam pejabat tertinggi di kementerian dan lembaga salah satu poinnya yakni Front Pembela Islam adalah organisasi yang tidak terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan sehingga secara de jure telah bubar sebagai organisasi kemasyarakatan.

Menilik hal tersebut menurut hemat saya ibarat rentetan yang terus menohok bagi FPI. Semenjak kembalinya Habib Rizieq Shihab, pemimpin FPI, “desakan” terhadap FPI begitu kuat. Rangkaian kasus pun terjadi dimana terjadi dinamika antara pemerintah dan FPI.

Reaksi warga pun (seperti biasa) terbelah dengan pembubaran FPI. Hal ini semakin mengukuhkan masih masifnya polarisasi dan masih jauhnya kata rekonsiliasi. Secara peta politik, memang di kubu pemerintahan telah berkumpul partai-partai politik yang tadinya mendukung capres-cawapres Prabowo-Sandiaga. Bahkan Prabowo-Sandiaga kini telah menjadi menteri di Kabinet Indonesia Maju.

Akan tetapi di tingkat masyarakat, pembelahan, polarisasi masih begitu lekat. Masing-masing pihak kerap masih asyik berada di echo chamber, berada di gua yang menggaungkan suara dukungannya, sembari dengan sinis melihat pihak yang berseberangan.

Pembubaran FPI menjadi amunisi baru yang bisa terus berlarut akan fenomena pembelahan tersebut.

Akankah ruang berdialektika masih tersisa? Hal tersebut yang layak diapungkan. Beda pendapat, beda pemikiran, sesungguhnya hal yang lumrah dan seharusnya disikapi dengan santai. Hal tersebut merupakan salah satu parameter dari sehat tidaknya demokrasi di suatu negara atau entitas.

Maka menjelang 2021, kebebasan berpendapat, kebebasan berorganisasi, demokrasi pun menjadi deretan yang masih tanda tanya. Sinyal akan diaktifkannya polisi siber di 2021, menjadi tanda-tanda yang semakin benderang, jangan-jangan ruang berdialektika akan semakin susut.