SHARE

Ilustrasi (Net)

CARAPANDANG - Oleh: Mujamin Jassin, Wapimred Carapandang.com

Suatu petang yang tenang, tiada sajian berita-berita yang mengerikan lagi gara-gara Covid-19. Secangkir coklat hangat membawa suasana hati semakin tenteram, sambil membayangkan mereka yang bernostalgia dengan alam Desa yang masih asri. Pasti betapa banyak cerita yang dibawa balik orang-orang yang mudik lebaran di kampung halaman.

Para pemudik yang mulai berkemas kembali ke kota-kota seiring berlalunya lebaran. Semesta aktivitas kehidupan mulai beranjak kembali normal, khususnya di kota Jakarta beberapa hari ke depan akan terlihat sibuk menampung para pengadu nasib.

Hari semakin tua, hati terhanyut dengan mekarnya mahkota Kamboja yang dihempas lebatnya guyuran hujan. Harum khasnya menyebar sepoi isi penuh halaman kontrakan yang tak seberapa luasnya.

Ingin rasanya memetik helai Kamboja, dan menaruhnya di bibir cangkir kopi, tapi tiba-tiba. Seketika saja kepala terasa pening akibat tercemar, diracuni oleh kehebohan perbincangan, terutama adanya Partai Mahasiswa. Partai A-B-C atau partai anu. Partai politik yang ramai-ramai mendaftar, dan beberapa di antaranya Kemenkumham telah merilisnya.

Hah?! Hoh?! Ohw?! Yes?! No?! (macam-macam ekspresi). Tetapi tunggu dulu, letih ketir itu belum tentu lolos ikut Pemilu terdekat? Dan serius tanya (?) parpol-parpol baru ini seluruhnya, apakah tidak lebih dari lelucon?

Sebab terdengar baik kosakata ‘mahasiswa, umat, buruh, pandai, idaman, nusantara’ atau lainnya dipakai sebagai identitas sebuah parpol. Biasa saja pertentangannya tak ada yang istimewa, nama-nama itu hanya metafora yang berharap efek bombastis namun lupa pepatah, apa arti sebuah nama!

Sah-sah saja kita mempercayai partai politik akan fokus pada kesejahteraan umum. Mahasiswa, buruh, rakyat tani, pekebun mesti berbesar dan berbangga hati! Seiring waktu, pengalaman pahit dengan melihat praktiknya, yang terkadang memang mereka belum tentu ramah, dan kita (rakyat) benar-benar jadi idamannya.

Selebihnya, kepada yang menggema gemuruh teriak menyoalnya dan tolak dicatut. Terbesit tanya pula, bukankah telah lama kita seluruhnya “berkartu” parpol? Cukup! Stop a politik. Bicara tentang idealisme, nyanyian moral force? Independensi? Atau teguh pada sikap trilogi (intelektualisme, pergerakan dan advokasi)? Praktisnya! Utopia-utopia tersebut bisa ditelorkan dalam dunia politik bukan?

Halaman :
Tags
SHARE