SHARE

Gudang Mesiu Kerajaan Riau-Lingga-Pahang, salah satu aset budaya di Pulau Penyengat, Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau. (istimewa)

CARAPANDANG.COM - Kisah kejayaan Kerajaan Melayu di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) dan dan sekitarnya tidak dapat dipisahkan dari kewiraan para pemimpinnya. Mereka adalah para sultan ternama yang disokong segenap prajurit dan rakyat militannya.

"Yang juga hebat, para bajak laut, pengikut setia Sang Raja. Ini hanya sebagian kisahnya," kata budayawan asal Kepri, Abdul Malik, di Tanjungpinang, Kamis (11/11/2021).

Malik, yang juga mantan Dekan Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjungpinang, memulai kisah dari Raja Haji.

Walau dalam masa berkabung karena Raja Haji syahid di medan juang pada 18 Juni 1784 di Teluk Ketapang, Melaka, Sultan Mahmud Riayat Syah (1761-1812) tak dapat terlalu lama berduka cita. Baginda langsung mengatur siasat untuk menghadapi kemungkinan selanjutnya, sekaligus menahbiskan diri sebagai panglima perang.

Kepemimpinan Sultan Mahmud Syah III itu memang disokong penuh oleh para bawahannya, baik pada masa damai maupun masa perang. Dukungan itu diperoleh karena sikap Baginda yang konsisten dan tegas terhadap Belanda. Baginda menolak segala bentuk paksaan, intervensi, dan perhubungan yang tak sederajat.

Data ini tercatat di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Surat-Surat Perjanjian antara Kesultanan Riau dengan Pemerintahan V.O.C. dan Hindia Belanda 1784-1909 (Jakarta, 1970).

Di antara isinya, “ … peperangan itu nama daripada radja maka dari itu belandja semuanja djatuh sepenuh2nja diatas radja didalam itupun lebih kurang satu bagian dari itu dia orang pun boleh pikir sebab itu belandja bagaimana ada patut meski bajar daripada radja....” Hal itu berarti Belanda menetapkan yang bertanggung jawab dan aktor intelektual Perang Riau I (1782-1784) adalah Sultan Mahmud Riayat Syah.

Belanda memang datang kembali. Kapal VOC, Hofder dan Diamant, pada 22 Juni 1784 dikirim ke Riau seperti dicatat oleh E. Netscher (1870) dalam De Nederlanders in Djohor en Siak: 1602 tot 1865. Tujuannya mengepung Tanjungpinang. Tak ada kapal yang boleh keluar-masuk pusat kerajaan. Pada Agustus 1784 armada Belanda melakukan serangan ke Tanjungpinang.

Pada 10 Oktober 1784 armada VOC-Belanda yang dipimpin oleh Jacob Pieter van Braam datang lagi ke Riau untuk memberikan ultimatum kepada Raja Ali, Yang Dipertuan Muda V agar meninggalkan Riau. Sultan Mahmud menolak intervensi Belanda itu sehingga terjadi perang pada 29 Oktober 1784. Pasukan Belanda dipimpin oleh Pieter Jacob van Braam. Ternyata, peperangan tak berlanjut karena Belanda minta gencatan senjata.

Halaman :