SHARE

Mujamin Jassin

CARAPANDANG- Oleh: Mujamin Jassin

Halo teman, sang penyair, ijinkan aku pinjam biopik kepemilikanmu “istirahatlah kata-kata” yang spektakuler – abadi.

Mengapa ‘hutang tidur’? Tak takut binasa?! Yang pasti aku tidak kehilangan arah karena di buron oleh rezim yang patah arang. Tetapi aku hanya ingin jeda dari penat yang menyita perasaanku dan jenuh yang merusak gerogoti kalbuku kini!

Setelah baru saja aku mengerti, takdir bekerja lebih baik daripada sebilah giat ambisi, giat kerja keras harapan dan giat gemuruh para pendongeng.

Aku bawa kembali ke negeriku saja kail cita-cinta kita, pengembaraanku yang menggebu-gebu selama ini. Ternyata bagai tangkai bunga teratai yang kutanam pada beton. Lembut, keras dan tak berakar! Jika diputar ulang seluruh gulungan kaset pengembaraan itu, bermuara pada keterasingan. Sebab banyak hal yang masih belum sempat aku jamah, gonggongi dan hanya sedikit yang membuatku rindu.

Andai ulung, aku dapat menyerupai tupai, keledai atau bunglon. Meloncat-loncat, mengemis-menjilat, berubah-ubah, tentu pastilah aku disorak-sorai tepuk tangan bahkan dibungkuki badan feodalisme. Tapi sayangnya aku tak berbakat.

Tanah partikelir, aku mau menyulam kembali layar nanti, entah kapan. Mengangkat jangkar keadilan untuk berpindah-pindah dulu, sekarang.

Istirahatlah kata-kataku, nikmati kesunyian. Kata-kata yang telah banyak menamatkan sejarah. Tidur berlibur dari jibaku menjadi kepala, tangan dan telinga bagi mahluk kota kotor dan arogan yang menindas saudara sendiri.

Hari-hari ke depan, aku mau jadi popor bedil manusia Desa, membawa mereka belah ragu berjalan di tengah kabut. Pena bagi petani – nelayan agar mereka tahu anatomi dan makna kemerdekaan sesungguhnya. Bukan “kemerdekaan adalah nasi dimakan jadi tai” seperti Wiji Thukul katai.

Aku ingin menjadi buku kecil untuk belajar banyak suhu – suku pedalaman. Mengumpulkan yang masih bisu – sembunyi, para aktivis yang akan memukul mundur perampas (tengkulak) dan patahkan tiran kekuasaan oligarki yang lalim.

Dan, di bawah bintang-bintang, setelah aku memeluk sang rembulan (ibu). Lekas kucarikan pantun yang maha tulus, buat aku rakit menjadi puisi, rasanya itu cukup untuk kalian (orang baik). Maafkanku tak punya helm proyek negara cerpen yang teatrikal dramatik.

Silakan cicipi kemegahan kebudayaan negeriku komandan, guru dan kawanku yang telah berjasa sedekah sayap-sayap, menyeret menghindarkan badan aku tertular gembel jalang.

Terima kasih kepada yang menggratiskan wahana bermain buat anak-anakku, yang berbagi senyum untuk menyelimuti perasaan kalut mereka akibat kesialan ideologi “kecil dan besar” yang hancurkan ekologi kekerabatan.

Halaman :
Tags
SHARE