SHARE

Ilustrasi (Net)

CARAPANDANG.COM, Oleh Amir Fiqi, Wartawan dan Pemerhati Sosial

Sudah satu tahun lebih pandemi Covid-19 melanda bangsa Indonesia. Sejak awal pandemi Covid-19 pemerintah telah menerapkan beberapa kebijakan dengan berbagai istilah. Setidaknya pemerintah sudah 6 kali gonta-ganti istilah kebijakan dalam upaya memutus mata rantai penyebaran Covid-19, yakni mulai PSBB, PPKM Jawa-Bali, PPKM Mikro, Penebalan PPKM Mikro, PPKM Darurat, dan PPKM Level 4 yang berlaku hingga 2 Agustus 2021.

Sudah 6 kali gonta-ganti istilah, tapi usaha memutus mata rantai penyebaran Covid-19 terlihat tak kunjung menunjukan hasil yang optimal. Malah jumlah angka kasus positif Covid-19 terus bertambah. Saking tingginya Indonesia mendapat julukan baru sebagai episentrum baru Covid-19 di Asia.  Bukan tanpa alasan status itu disematkan sebab, rekor kasus harian di Indonesia  beberapa hari terakhir menjadi yang tertinggi di dunia, melampaui India.

Tidak hanya gonta-ganti istilah, kebijakan yang dibuat oleh pemerintah juga kadang  membingungkan dan aneh dipahami masyarakat. Misalnya, aturan baru pada perpanjangan PPKM Level 4 yakni memberikan izin bagi pedagang kaki lima (PKL) dan warung Tegal (Warteg) melayani pembeli makan di tempat dengan batas waktu makan maksimal 20 menit. Anehnya kebijakan tersebut langsung menuai kritikan dari masyarakat. Bahkan aturan tersebut menjadi bahan lelucon.

Hal ini seharusnya menjadi bahan renungan  pemerintah. Dengan rentetan aturan yang aneh justru akan merugikan pemerintah sendiri. Sebab  kebijakan-kebijakan  yang aneh itu bisa menggerus kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dalam mengatasi pandemi Covid-19 di tanah air. Maka itu pemerintah harus segera menjelaskan kepada publik apa korelasinya antara waktu makan maksimal 20 menit dengan memutus penyebaran/penularan virus corona.

Anggap enteng Covid-19

Tidak hanya soal kebijakan yang aneh, sejak awal virus Corona masuk ke Indonesia terekam dengan jelas para pejabat di negeri ini menganggap enteng persoalan virus Corona. Sebutnya saja, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto yang  pada saat itu terkesan menolak peringatan-peringatan yang disampaikan lembaga dunia dan penelitian-penelitian berbagai universitas dunia bahwa virus Corona bisa saja menyerang Indonesia. Malah dengan entengnya  dia mengatakan bahwa masyarakat tidak perlu panik menghadapi penyebaran Covid-19 di Indonesia.

Contoh lain, Menko Polhukam Mahfud MD sejumlah pernyataannya menyikapi masuknya virus Corona sebagai bahan candaan. Mantan Ketua MK itu mengatakan bahwa Covid-19 tidak mungkin bisa  masuk ke Indonesia, sebab untuk masuk ke Indonesia harus memalui izin yang berbelit-berbelit.  Respon yang sama juga disampaikan oleh Kepala BNPB Doni Monardo. Ia mengatakan bahwa orang Indonesia akan sulit terpapar Covid-19 sebab masyarakat Indonesia gemar meminum jamu tradisional. "Apakah mungkin karena kita sering minum jamu atau mungkin karena kita sudah kebal dari dulu karena sudah sering kena batuk pilek jadi begitu ada virus dikit saja virusnya mental."(detik.com)

Alhasil, dengan menganggap enteng krisis Covid-19 ini sehingga pemerintah terlihat “gagap” saat menghadapi gelombang penularan Covid-19 yang semakin mengganas. Yang muncul malah  masalah-masalah baru yang muncul misalnya kelangkaan ketersediaan oksigen, rumah sakit yang tidak memadai, dan langkanya obat-obatan.

Kebijakan yang usang

Saat ini pemerintah memutuskan untuk memperpanjang PPKM Level 4 hingga 2 Agustus 2021. Perpanjangan PPKM menjadi Level 3 dan 4 yang ditindaklanjuti melalui instruksi Menteri Dalam Negeri (InMendagri) bisa dianggap sebagai strategi using. Sebab, sejak awal pandemi ini melanda pemerintah terlihat hanya gonta-ganti istilah kebijakan saja dalam upaya mengatasi pandemi Covid-19.

Gonta-ganti istilah kebijakan yang dibuat pemerintah justru hanya ingin memperlihatkan bahwa seolah-olah pemerintah giat bekerja dalam menanggulangi pandemi Covid-19 di tanah air.

Seharusnya pemerintah tidak perlu mengeluarkan banyak istilah, cukup pemerintah melakukan langkah yang berani dalam memerangi virus corona. Misalnya dengan mengeluarkan kebijakan dengan melakukan karantina total untuk wilayah yang berstaus gawat.

Jika sejak awal virus corona masuk ke Indonesia pemerintah berani mengambil langkah yang berani dengan mengkarantina total  wilayah DKI Jakarta dan daerah sekitarnya bisa jadi virus corona tidak bergerak bebas masuk ke wilayah-wilayah lain di tanah air. Dan jika dihitung anggarannya untuk karantina total wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya bisa  jadi lebih sedikit dibanding anggaran yang saat ini pemerintah gelontor selama pandemi Covid-19. 

Anggaran yang sudah keluar sangat banyak tapi upaya memutus mata rantai penyebaran tidak maksimal. Angka kasus  positif terus meroket. Dan angka kematian harian pasien Covid-19 hari demi hari jumlahnya meningkat. Bahkan angka  kematian harian pasien Covid-19 di  Indonesia menempati peringkat pertama berdasarkan data Worldometers pada Rabu (28/7) yakni sebanyak 2.069 orang dan disusul Brasil dengan angka kematian harian sebanyak 1.320 kematian.

Untuk memutus mata rantai penyerbaran Covid-19 di Indonesia pemerintah harus berani membatasi mobilitas warganya. Dan kebijakan yang dibuat untuk membatasi mobilitas benar-benar diterapkan bukan hanya sekadar di jalankan, apalagi dengan membuat kebijakan yang aneh dan membingungkan. Jika masih bekerja seperti saat ini maka jumlah angka kasus di Indonesia tidak akan kunjung melandai. Sementara itu, program vaksinasi yang diharapkan menjadi tameng Covid-19 juga menghadapi kendala, sebab stok vaksin yang tersedia juga terbatas. Sehingga untuk menciptakan kekebalan komunal juga lama terwujud.

Sebagai anak bangsa pasti akan terus memanjatkan doa kepada Tuhan YME agar wabah ini segera diangkat dari bumi Indonesia. Tapi tidak hanya sekadar doa, kerja keras juga harus dilakukan oleh pemerintah, dan semua elemen bangsa untuk bersama-sama melawan virus corona.

Tags
SHARE