SHARE

 Prof. Dr. Hanif Nurcholis

CARAPANDANG - Oleh: Prof. Dr. Hanif Nurcholis

Dalam buku Ong Hok Ham, Soemarsaid Moertono, Lucian Adam, Suhartono, Jan Breman, dan Frans Husken asal usul kepala desa adalah kaki tangan punggawa (pejabat tinggi) kerajaan pribumi. Zaman itu punggawa tidak digaji. Mereka diberi tanah lungguh (apanage) oleh Raja sebagai gajinya.

Tanah Raja yang mana yang diberikan kepada punggawa sebagai apanage? Ya mau-maunya Raja karena dalam sistem kerajaan Nusantara semua tanah milik Raja. Rakyat tidak boleh punya tanah.

Tapi para punggawa tersebut  tidak mau menggarap tanah atau sawah lungguhnya. Mereka menunjuk orang kuat/sakti desa (bajingan, benggol, kecu, jawara, bromocorah) menjadi kaki tangannya. Orang inilah cikal bakal kepala desa. Tugasnya menunjuk orang-orang di desanya mana yang boleh menggarap tanah apanage milik punggawa/bosnya dan minta upeti kepada petani penggarap tersebut  untuk disetor kepada bosnya dengan cara kekerasan dan menindas.

Praktik tersebut  diteruskan  penjajah Belanda. Hanya beda istilah. Tugas kepala desa bukan menarik upeti untuk  punggawa,  tapi menarik pajak untuk pemerintah Belanda.

Meskipun Indonesia sudah merdeka pola relasi pemerintah atasan-kepala desa-rakyat desa tidak berubah. Kepala desa tersebut  dipertahankan sebagi kaki tangan penguasa untuk  mengatur rakyat desa. 

Jadi, sejak ratusan tahun lalu sampai sekarang sebagai akibat model relasi kuasa feodal dan menindas rakyat desa tersebut  terbentuk mentalitas kepala desa sebagai penghamba penguasa, bukan sebagai pelayan dan pembela rakyat desa. 

Para kepala desa yang dengan gembira dan bangga mau dimobilisasi antek-antek penguasa untuk mendukung Jokowi tiga periode adalah para kepala desa kelompok ini.

Sedangkan para kepala desa yang teguh pada prinsip pemerintahan modern konstitusional adalah para kepala desa yang sudah tercerahkan. Kelompok ini berani memutus dan membuang struktur budaya warisan kerajaan pribumi masa lalu yang dimanfaatkan penguasa despot hari ini. 

Tags
SHARE