Beberapa murid sekolah menengah yang mengunjungi Taman Peringatan Perdamaian Hiroshima juga mengutarakan pandangan serupa. "Yang kami ketahui karena di Hiroshima pernah ada fasilitas militer," ujar salah satu dari mereka.
Seorang pengunjung berusia 40-an tahun menyampaikan pengamatan yang lebih kritis. "Saya membaca bahwa kala itu perang hampir berakhir ketika bom dijatuhkan dan bahwa Amerika Serikat (AS) menggunakannya sebagai eksperimen. Jika benar, itu sungguh mengerikan," katanya.
Suara-suara tersebut menyoroti ingatan nasional yang lebih dibentuk oleh narasi sebagai korban daripada oleh pengakuan penuh terhadap penyebab dan konsekuensi perang. Hal tersebut mencerminkan bagaimana Jepang mengingat sekaligus melupakan masa lalunya semasa perang.
Meskipun bekas luka fisik akibat kehancuran bom nuklir didokumentasikan dengan teliti di museum dan monumen peringatan, perilaku agresif Jepang selama masa perang justru cenderung diredam dalam wacana publik maupun sistem pendidikan negara.
Foto yang diabadikan pada 5 Agustus 2025 ini menunjukkan para demonstran berkumpul di Monumen Perdamaian Hiroshima (Hiroshima Atomic Bomb Dome), Hiroshima, Jepang, untuk mengkritik kebijakan penguatan militer yang terus berlanjut oleh pemerintah Jepang. (Carapandang/Xinhua/Jia Haocheng)